A.
Latar
Belakang
Kelahiran negara-negara baru dan munculnya kekuatan dunia
ketiga merupakan salah satu aspek timbulnya perubahan dalam hukum perdagangan
internasional. Sebagaimana diketahui, munculnya negara-negara sosialis yang
diawali dengan Revolusi Sosialis 1917 telah menimbulkan pergeseran prinsip
hukum internasional. Hal ini dikarenakan munculnya kekuatan yang mengimbangi
negara-negara liberal.
Pesatnya pertumbuhan perekonomian negar-negara ASEAN,
termasuk Indonesia, kurun waktu terakhir ini mau tidak mau telah membuat pusing
negara-negara maju, seperti USA, Uni Eropa, dan lain-lain. Sektor perdagangan
menjadi sangat penting peranannya dalam pembinaan perekonomian, baik dalam
perdagangan domestik maupun perdagangan internasional yang menuju era
perdagangan bebas yang semakin kompetitif.
Sebagaimana diketahui bahwa di seluruh dunia berbagai Negara
melakukan tindakan-tindakan deregulasi maupun regulasi secara silih berganti.
Peraturan perundang-undangan tersebut dalam proses perkembangannya semakin
terasa pengaruhnya atas pelaksanaan tindakan-tindakan pengusaha dalam
perdagangan internasional tersebut. Dalam kaitan tersebut kegiatan para pelaku
perdagangan internasional di suatu saat dapat menimbulkan terjadinya perselisihan
yang melahirkan sengketa dalam perdagangan internasional.
Maraknya soal Mobnas di kancah internasional, sejak Amerika
Serikat mendaftarkan gugatan keduanya ke panel badan penyelesaian sengketa
(DSB-Dispute Settlement Body)
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), ini berarti bahwa USA telah mengikuti jejak
Jepang dan Uni Eropa dalam memberikan indikasi bahwa mereka tidak puas dengan
hasil negosiasi bilateral dengan Indonesia dan meminta WTO mengambil keputusan
sesuai dengan peraturan yang berlaku. Tiga kekuatan ekonomi yang mendominasi
dunia menggugat Indonesia. Hal ini jelas merupakan suatu hal yang sangat
serius.[1]
Suatu sengketa dapat terjadi apabila ada pertentangan,
misalnya karena adanya pelanggaran ketentuan GATT yang menimbulkan kerugian
salah satu pihak. Di dalam GATT tidak mengenal istilah ganti rugi atau
penyitaan karena GATT mengatur tingkah laku perdagangan untuk mencapai
harmonisasi antara peraturan internasional dengan kebijaksanaan nasional. Untuk
menentukan sumber sengketa, GATT mensyaratkan adanya multification atau
impairment, sebagaimana diatur dalam Pasal XXIII. Dari ketentuan tersebut,
dapat ditarik unsur-unsur yang dapat memberikan alasan kepada contracting
parties. Artinya, untuk terjadinya sengketa paling tidak harus dipenuhi unsur-unsur,
yaitu sebab-sebab terjadinya kerugian yang diderita suatu negara dan unsur
akibat yang secara definitif ditentukan oleh GATT. Prosedur penyelesaian
sengketa sebagaimana diatur dalam Pasal XXII dan Pasal XXIII, sedangkan
tahap-tahap penyelesaiannya melalui konsultasi para pihak, sidang contracting parties dan panel.
[1] Syahmin AK., Hukum Perdagangan Internasional (Dalam
Kerangka Studi Analitis), (Naskah Tutorial), FH UNISTI Palembang, 2004,
hlm.7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar