Senin, 06 Agustus 2012

Mengkritisi RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana-Baru Dalam Perspektif HAM


Memulai tulisan ini saya ingin mengutip pendapat Jan Remmelink, ahli hukum Pidana tentang KUH Pidana Belanda (Straftrecht) sebagai berikut:
“Tidak dapat dipungkiri bahwa KUH Pidana Belanda (Sr), qua struktur dan perumusan merupakan karya besar dan sampai dengan sekarang setelah 100 th lewat sebelum ketinggalan jaman. Bahkan KUHPidana tersebut masih diberlakukan di Suriname, Kepulauan Antillen dan Aruba serta Indonesia tanpa memunculkan persoalan besar, setidak-tidaknya demikian menurut penulis”.
Pendapat Remmelink menggaris bawahi dua hal yaitu, KUHPidana Belanda qua struktur dan perumusannya merupakan karya besar yang walaupun telah berusia 100 tahun belum ketinggalan jaman. Para penggunanya termasuk Indonesia tidak menghadapi kesulitan besar. Kalangan masyarakat hukum Indonesia, dan khususnya para ahli hukum Pidana boleh tidak sependapat dengan Jan Remmelink. Pihak yang tidak setuju biasanya akan berkata, bahwa KUHPidana yang diberlakukan di Indonesia itu merupakan warisan hukum pemerintah kolonial belanda, karena itu tidak sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat bangsa merdeka.

Mereka berkata pula, bahwa perkembangan masyarakat, ekonomi dan teknologi yang melahirkan bentuk-bentuk kejahatan baru yang melahirkan kebutuhan hukum baru, yaitu perlindungan yang memadai bagi individu, masyarakat dan negara menuntut pembaharuan KUHPidana Nasional. Argumentasi ini sah-sah saja. Namun satu hal yang tidak dapat mereka dan kita bantah adalah fakta sejarah bahwa KUHPidana Nasional peninggalan Belanda itu telah menjadi sarana legitimasi hukum bagi pemberantasan kejahatan sepanjang usia Republik Indonesia yang mencapai 60 (enam puluh) tahun. Ia menjadi sarana hukum yang memberikan sumbangan pada upaya menjaga stabilitas keamanan dan ketertiban pada masa orde baru. Bahkan pada era ini beberapa bagian KUHPidana Nasional itu digunakan oleh penguasa untuk melindungi kepentingan politik dan kekuasaannya dan bersamaan dengan itu ia menjadi legitimasi hukum untuk mengadili, menghukum dan memenjarakan tokoh – tokoh gerakan pro demokrasi, serentak dengan itu ia menjadi salah satu sarana hukum yang ampuh untuk mengembangkan suasana dan rasa ketakutan di kalangan masyarakat, khususnya lawan-lawan politik pemerintah otoriter Orde Baru.
Oleh karena itu sangat bisa dimengerti bila masyarakat Indonesia dewasa ini, khususnya mereka yang peduli terhadap berlangsungnya demokrasi dan perlindungan HAM bersikap cermat, cerdas dan waspada terhadap RUU KUHPidana. Masyarakat, kalaupun tidak seluruhnya sebagian besar tidak ingin melihat lagi bagian-bagian dari KUHPidana kita itu membuka peluang bagi avenue kembalinya Otoritarianisme dan kesewenangan, yang pada ketikanya membunuh demokrasi dan mengeliminasi HAM.

1 komentar:

  1. saya mahasiswa dari Jurusan Hukum
    Artikel yang sangat menarik, bisa buat referensi ni ..
    terimakasih ya infonya :)

    BalasHapus