Memulai tulisan ini saya ingin
mengutip pendapat Jan Remmelink, ahli hukum Pidana tentang KUH Pidana Belanda
(Straftrecht) sebagai berikut:
“Tidak dapat dipungkiri bahwa KUH
Pidana Belanda (Sr), qua struktur dan perumusan merupakan karya besar dan
sampai dengan sekarang setelah 100 th lewat sebelum ketinggalan jaman. Bahkan
KUHPidana tersebut masih diberlakukan di Suriname, Kepulauan Antillen dan Aruba
serta Indonesia tanpa memunculkan persoalan besar, setidak-tidaknya demikian
menurut penulis”.
Pendapat Remmelink menggaris bawahi
dua hal yaitu, KUHPidana Belanda qua struktur dan perumusannya merupakan karya
besar yang walaupun telah berusia 100 tahun belum ketinggalan jaman. Para
penggunanya termasuk Indonesia tidak menghadapi kesulitan besar. Kalangan
masyarakat hukum Indonesia, dan khususnya para ahli hukum Pidana boleh tidak
sependapat dengan Jan Remmelink. Pihak yang tidak setuju biasanya akan berkata,
bahwa KUHPidana yang diberlakukan di Indonesia itu merupakan warisan hukum
pemerintah kolonial belanda, karena itu tidak sesuai dengan kebutuhan hukum
masyarakat bangsa merdeka.
Mereka berkata pula, bahwa
perkembangan masyarakat, ekonomi dan teknologi yang melahirkan bentuk-bentuk
kejahatan baru yang melahirkan kebutuhan hukum baru, yaitu perlindungan yang
memadai bagi individu, masyarakat dan negara menuntut pembaharuan KUHPidana
Nasional. Argumentasi ini sah-sah saja. Namun satu hal yang tidak dapat
mereka dan kita bantah adalah fakta sejarah bahwa KUHPidana Nasional
peninggalan Belanda itu telah menjadi sarana legitimasi hukum bagi
pemberantasan kejahatan sepanjang usia Republik Indonesia yang mencapai 60
(enam puluh) tahun. Ia menjadi sarana hukum yang memberikan sumbangan pada
upaya menjaga stabilitas keamanan dan ketertiban pada masa orde baru. Bahkan
pada era ini beberapa bagian KUHPidana Nasional itu digunakan oleh penguasa
untuk melindungi kepentingan politik dan kekuasaannya dan bersamaan dengan itu
ia menjadi legitimasi hukum untuk mengadili, menghukum dan memenjarakan tokoh –
tokoh gerakan pro demokrasi, serentak dengan itu ia menjadi salah satu sarana
hukum yang ampuh untuk mengembangkan suasana dan rasa ketakutan di kalangan
masyarakat, khususnya lawan-lawan politik pemerintah otoriter Orde Baru.
Oleh karena itu sangat bisa
dimengerti bila masyarakat Indonesia dewasa ini, khususnya mereka yang peduli
terhadap berlangsungnya demokrasi dan perlindungan HAM bersikap cermat, cerdas
dan waspada terhadap RUU KUHPidana. Masyarakat, kalaupun tidak seluruhnya
sebagian besar tidak ingin melihat lagi bagian-bagian dari KUHPidana kita itu
membuka peluang bagi avenue
kembalinya Otoritarianisme dan kesewenangan, yang pada ketikanya membunuh
demokrasi dan mengeliminasi HAM.
saya mahasiswa dari Jurusan Hukum
BalasHapusArtikel yang sangat menarik, bisa buat referensi ni ..
terimakasih ya infonya :)