Senin, 06 Agustus 2012

Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 Tentang Konflik Internal. Pasal yang “Ajaib”!


Oleh : Arlina Permanasari

Dalam Konvensi Jenewa, sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional (konflik/sengketa bersenjata non-internasional atau konflik internal) diatur dalam Pasal 3 ketentuan-ketentuan yang bersamaan (common articles) dari Konvensi Jenewa 1949. Mengapa saya mengatakan Pasal 3 ini sebagai “pasal yang ajaib” ? Mari kita lihat dulu ketentuan Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 secara lengkap :
“Dalam hal pertikaian bersenjata yang tidak bersifat internasional yang berlangsung dalam wilayah salah satu Pihak Peserta Agung, tiap Pihak dalampertikaian itu akan diwajibkan untuk melaksanakan sekurang-kurangnya ketentuan-ketentuan berikut :

(1) Orang-orang yang tidak turut serta secara aktif dalam pertikaian itu, termasuk anggota-anggota angkatan perang yang telah meletakkan senjata-senjata mereka serta mereka yang tidak lagi turut serta (hors de combat) karena sakit, luka-luka, penahanan atau sebab lain apapun, dalam keadaan bagaimanapun harus diperlakukan dengan perikemanusiaan, tanpa perbedaan merugikan apapun juga yang didasarkan atas ras, warna kulit, agama atau kepercayaan, kelamin, keturunan atau kekayaan, atau setiap kriteria lain yang serupa itu.
Untuk maksud ini, maka tindakan-tindakan berikut dilarang dan tetap akan dilarang untuk dilakukan terhadap orang-orang tersebut di atas pada waktu dan di tempat-tempat apapun juga :
  • (a). tindakan kekerasan atas jiwa dan raga, terutama setiap macam pembunuhan, pengudungan, perlakuan kejam dan penganiayaan;
  • (b). penyanderaan;
  • (c). perkosaan atas kehormatan pribadi, terutama perlakuan yang menghina dan merendahkan martabat;
  • (d). menghukum dan menjalankan hukuman mati tanpa didahului keputusan yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang dibentuk secara teratur, yang memberikan semua jaminan peradilan yang diakui sebagai keharusan oleh bangsa-bangsa yang beradab.
(2). Yang luka dan sakit harus dikumpulkan dan dirawat.
Sebuah badan humaniter tidak berpihak, seperti Komite Internasional Palang Merah, dapat menawarkan jasa-jasanya kepada pihak-pihak dalam pertikaian.
Para pihak dalam pertikaian, selanjutnya harus berusaha untuk menjalankan dengan jalan persetujuan-persetujuan khusus, semua atau sebagian dari ketentuan lain dari Konvensi ini.
Pelaksanaan ketentuan-ketentuan tersebut di atas tidak akan mempengaruhi kedudukan hukum pihak-pihak dalam pertikaian”.
Dengan melihat ketentuan Pasal 3 tersebut di atas, ada beberapa hal yang dapat kita ketahui :
  • Konvensi Jenewa menyatakan suatu konflik bersenjata non-internasional dengan perumusan kalimat masih kabur maknanya, yakni dengan frasa ” Dalam hal pertikaian bersenjata yang tidak bersifat internasional“.  Formulasi yang sangat kabur ini, tentu saja, menimbulkan tafsiran yang sangat luas, sehingga dapat menimbulkan berbagai pertanyaan seperti : bagaimana sifat permusuhan; haruskah permusuhan tersebut hanya terjadi antara angkatan bersenjata pemerintah dan angkatan bersenjata pemberontak saja, atau haruskah angkatan bersenjata pemberontak ini telah dapat mengawasi suatu wilayah tertentu ? Apakah sebenarnya pengertian ‘tidak bersifat internasional’ dalam praktek ? Bagaimana bila terjadi intervensi asing ? dan lain-lain. Dengan kata lain, Pasal 3 belum merumuskan suatu keadaan atau situasi obyektif, juga belum memberikan kriteria obyektif mengenai apa yang dimaksud dengan “pertikaian bersenjata yang tidak bersifat internasional“.  Hal ini merupakan kelemahan Pasal 3, namun sekaligus juga merupakan keuntungan karena Pasal 3 tidak menolak adanya penafsiran yang luas.
  • Ayat (1) Pasal 3 ini mencerminkan adanya perlindungan hukum yang begitu besar terhadap golongan yang disebut dengan “hors de combat”; juga mencerminkan bahwa setiap ketentuan Konvensi sekaligus mengakomodir asas-asas hukum humaniter, dalam hal ini asas kesatriaan dan asas kemanusiaan. Orang yang sudah tidak mampu lagi untuk melakukan serangan, menurut ayat ini, harus dilindungi hak-haknya serta diperlakukan secara manusiawi. Seorang kombatan yang turun di medan pertempuran memang dapat dibunuh, akan tetapi ketika ia menjadi “hors de combat”, maka ia mendapatkan perlindungan hukum; termasuk tidak boleh dibunuh atau dianiaya. Seorang prajurit sejati, pada hakekatnya adalah prajurit yang menjunjung tinggi prinsip kesatriaan; jika ia menemui musuh dalam keadaan siaga, bersenjata dan masih melakukan perlawanan, maka tentu saja ia harus  bertempur dan jika perlu membunuh prajurit musuh. Sebaliknya, jika musuh tersebut sudah tidak berdaya, maka jiwa ksatria melarangnya untuk menganiaya, membunuh atau melakukan tindakan-tindakan yang tidak manusiawi, karena memang pada hakekatnya musuh tersebut sudah benar-benar tidak mampu melakukan serangan lagi dan dapat ditaklukkan. Anggota militer mempunyai kehormatan militer dan sikap ksatria, sehingga sepatutnya tunduk pada aturan ini. Sebaliknya, perlakuan yang tidak manusiawi, penganiayaan atau pembunuhan tanpa melalui proses peradilan, hanya mencerminkan tindakan premanisme dari seseorang yang berjiwa kerdil dan primitif, dan sudah seharusnya hal ini tidak tercermin dalam tingkah laku para prajurit yang merupakan organ resmi negara . Jadi, peperangan memang terlihat kejam; namun jika diperhatikan, ada sisi-sisi kemanusiaan dalam setiap ketentuannya.
  • Jika kita lihat lagi mengenai hak-hak apa saja yang harus dijamin atas golongan orang-orang yang termasuk dalam “hors de combat ini”, maka ketentuan ayat (1) butir (a) hingga (d) mencerminkan hak-hak yang paling mendasar bagi setiap insan manusia, termasuk di medan perang. Ketentuan tersebut, nyaris serupa dengan hak-hak asasi manusia yang paling mendasar dan fundamental, yakni intisari HAM atau sering disebut dengan istilah “hak-hak yang tidak dapat diganggu-gugat” (non-derogable rights), yang harus dijamin dalam keadaan apapun juga, termasuk dalam keadaan perang.
  • Ayat (2) Pasal 3 ini sangat mencerminkan asas kemanusiaan, walaupun dalam keadaan yang genting (peperangan). Ketentuan untuk memperlakukan secara manusiawi terhadap “hors de combat” yang ada dalam ayat (1), perlu pula dilengkapi dengan ketentuan ayat(2) yang menyatakan bahwa mereka harus pula dirawat, jika perlu dengan bantuan organisasi-organisasi kemanusiaan lain yang tidak berpihak.
  • Demikian pula, jika sebagian orang berfikir “ah, kalau terjadi konflik internal maka yang berlaku hanya satu pasal saja; yakni Pasal3 Konvensi Jenewa”, maka sebenarnya tidak selalu demikian. Jika kita perhatikan ayat (2) ini, maka pelaksanaan sebagian maupun ketentuan lain dalam Konvensi, dapat dilakukan oleh para pihak dengan suatu persetujuan khusus. Jadi, harus dipahami bahwa walaupun hanya Pasal 3 saja dari Konvensi Jenewa yang berlaku dalam suatu konflik yang bersifat non-internasional, namun dengan persetujuan-persetujuan khusus antara para pihak, maka mereka dapat bersepakat untuk menerapkan bagian-bagian lainnya dari Konvensi Jenewa. Contoh aktual mengenai hal ini adalah dibentuknya suatu persetujuan khusus antara pihak-pihak yang bersengketa pada konflik di bekas Yugoslavia. Dalam perjanjian khusus tersebut disepakati bahwa para pihak menyetujui untuk memberlakukan Konvensi Jenewa ke-III tentang perlakuan terhadap tawanan perang, dalam konflik tersebut.
  • Sedangkan kalimat terakhir dari ayat (2), yang berbunyi “Pelaksanaan ketentuan-ketentuan tersebut di atas tidak akan mempengaruhi kedudukan hukum pihak-pihak dalam pertikaian”, memberikan suatu jaminan kepada pemerintah yang sah, bahwa apabila mereka memberlakukan Pasal 3 ini terhadap pemberontak, maka hal tersebut tidak merubah status hukum pemberontak (insurgent) menjadibelligerent. Hal ini ditegaskan dalam kalimat yang terakhir, karena praktek negara menunjukkan bahwa pada umumnya pemerintah yang sah berusaha untuk mengingkari Pasal 3 Konvensi Jenewa karena menganggap bahwa pemberlakukan Pasal 3 akan mengubah status pemberontak menjadi belligerent, atau sebagai suatu subyek hukum internasional. Dengan ayat(2) alinea terakhir dalam Pasal ini, maka ketakutan tersebut tidak perlu terjadi. Hal ini merupakan perkembangan hukum yang sangat progresif, karena pemberontakan yang merupakan masalah dalam negeri suatu negara dan mewajibkan negara lain untuk tidak turut campur dalam masalah itu (prinsip non-intervensi), namun ternyata pengaturannya (walaupun secara umum) terdapat di dalam suatu perjanjian internasional, yakni dalam Konvensi Jenewa 1949.
Dengan melihat beberapa uraian tersebut di atas, maka saya mengatakan ketentuan Pasal 3 ini sebagai pasal yang ajaib. Pasal 3 ini mematahkan anggapan bahwa dalam setiap peperangan hanya kekejaman yang terjadi; pasal ini juga telah mencakup intisari hak-hak asasi manusia yang tidak dapat diganggu-gugat, sehingga merupakan respons positif hukum humaniter terhadap jaminan perlindungan hak asasi manusia pada waktu perang; pasal ini juga sangat mengutamakan aspek-aspek kemanusiaan dalam waktu perang; demikian pula, pasal ini juga bersifat ‘lentur’, karena memungkinkan pemberlakuan klausula lain dari Konvensi Jenewa dalam hal perlakuan terhadap tawanan perang dan juga dapat diterapkan pada setiap konflik internal tanpa persyaratan apapun; serta sekaligus menjamin bahwa suatu masalah dalam negeri seperti perang pemberontakan, pada hakekatnya bukanlah masalah yang memungkinkan negara lain untuk ikut campur tangan, karena masalah tersebut mutlak berada dalam wilayah kekuasaan Pemerintah yang sah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar