Selasa, 06 Maret 2012

(Pidana) Sejarah Singkat Hukum Pidana Indonesia


Babak sejarah Hukum Pidana yang tertulis di Indonesia dapat dibagi atas:
            1. Zaman  Vereenigde Oost Indische Compagnie  (VOC)
          2. Zaman Hindia belanda
                    3. Zaman Jepang
                    4. Zaman Kemerdekaan

1. Zaman Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) Tahun 1602-1799
Zaman pemberlakuan Hukum Pidana Barat dimulai setelah bangsa Belanda datang ke wilayah Nusantara, yaitu ditandai dengan diberlakukannya beberapa peraturan pidana oleh VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). VOC sebenarnya adalah kongsi dagang Belanda yang diberikan “kekuasaaan wilayah” di Nusantara oleh pemerintah Belanda. Hak keistimewaan VOC berbentuk hak Octrooi  Staten General yang meliputi monopoli pelayaran dan perdagangan, mengumumkan perang, mengadakan perdamaian dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara, dan mencetak uang. Pemberian hak demikian memberikan konsekuensi bahwa VOC memperluas dareah jajahannya di kepulauan Nusantara. Dalam usahanya untuk memperbesar keuntungan, VOC memaksakan aturan-aturan yang dibawanya dari Eropa untuk ditaati orang-orang pribumi.

Setiap peraturan yang dibuat VOC diumumkan dalam bentuk plakaat, tetapi pengumuman itu tidak tidak disimpan dalam arsip. Sesudah diumumkan, plakaat peraturan itu kemudian dilepas tanpa disimpan sehingga tidak dapat diketahui peraturan mana yang masih berlaku dan yang sudah tidak berlaku lagi. Keadaan demikian menimbulkan keinginan VOC untuk mengumpulkan kembali peraturan-peraturan itu. Kumpulan peraturan-peraturan itu disebut sebagai Statuten van Batavia (Statuta Betawi) yang dibuat pada tahun 1642.
Pada tahun 1766 Statuta Batavia itu dibuat kembali dan dihasilkan Statuta Batavia Baru. Statuta itu berlaku sebagai hukum positif baik bagi orang pribumi maupun bagi orang asing, dengan mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan peraturan-peraturan lain. Walaupun statuta tersebut berisi kumpulan peraturan-peraturan, namun belum dapat disebut sebagai kodifikasi hukum karena belum tersusun secara sistematis. Dalam perkembangannya, salah seorang gubernur jenderal VOC, yaitu Pieter Both juga diberikan kewenangan untuk memutuskan perkara pidana yang terjadi di peradilan-peradilan adat.
Alasan VOC mencampuri urusan peradilan pidana adat ini disebabkan beberapa hal, antara lain:
i) sistem pemidanaan yang dikenal dalam Hukum Pidana adat tidak memadai untuk            dapat memaksakan kepada penduduknya agar dapat mentaati peraturan-peraturan;
ii) sistem peradilan pidana adat terkadang tidak mampu menyelesaikan perkara pidana yang terjadi karena perzamanlahan alat bukti; dan
iii) adanya perbedaan pemahaman mengenai kejahatan dan pelanggaran antara Hukum Pidana adat dengan Hukum Pidana yang dibawa VOC. Sebagai contoh adalah suatu perbuatan yang menurut hukum pidana adat bukanlah dianggap sebagai kejahatan, namun menurut pendapat VOC perbuatan tersebut dianggap kejahatan, sehingga perlu dipidana yang setimpal. Bentuk campur tangan VOC dalam Hukum Pidana adat adalah terbentuknya Pepakem Cirebon yang digunakan para hakim dalam peradilan pidana adat. Pepakem Cirebon itu berisi antara lain mengenai system pemidanaan seperti pemukulan, cap bakar, dirantai, dan lain sebagainya.
Pada tahun 1750 VOC juga menghimpun dan mengeluarkan Kitab Hukum Muchtaraer yang berisi himpunan Hukum Pidana Islam. Pada tanggal 31 Desember 1799, Vereenigde Oost Indische Compagnie dibubarkan oleh pemerintah Belanda dan pendudukan wilayah Nusantara digantikan oleh Inggris. Gubernur Jenderal Raflles yang dianggap sebagai gubernur jenderal terbesar dalam sejarah koloni Inggris di Nusantara tidak mengadakan perubahan-perubahan terhadap hukum yang telah berlaku. Dia bahkan dianggap sangat menghormati hukum adat.


2. Zaman Pendudukan Jepang Tahun 1942-1945
Pada zaman pendudukan Jepang selama 3,5 tahun, pada hakekatnya Hukum Pidana yang berlaku di wilayah Indonesia tidak mengalami perubahan yang signifikan. Pemerintahan bala tentara Jepang (Dai Nippon) memberlakukan kembali peraturan jaman Belanda dahulu dengan dasar Gun Seirei melalui Osamu Seirei. Pertama kali, pemerintahan militer Jepang mengeluarkan Osamu Seirei Nomor 1 Tahun 1942.
Pasal 3 undang-undang tersebut menyebutkan bahwa semua badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari pemerintah yang dulu tetap diakui sah untuk sementara waktu, asalkan tidak bertentangan dengan pemerintahan militer. Dengan dasar ini maka dapat diketahui bahwa hukum yang mengatur pemerintahan dan lain-lain, termasuk Hukum Pidananya, masih tetap menggunakan Hukum Pidana Belanda yang didasarkan pada Pasal 131. Psal 163 Indische Staatregeling. Dengan demikian, hukum pidana yangdiberlakukan bagi semua golongan penduduk sama yang ditentukan dalam Pasal 131 Indische Staatregeling, dan golongan-golongan penduduk yang ada dalam Pasal 163 Indische Staatregeling. Untuk melengkapi Hukum Pidana yang telah ada sebelumnya, pemerintahan militer Jepang di Indonesia mengeluarkan Gun Seirei nomor istimewa 1942, Osamu Seirei Nomor 25 Tahun 1944 dan Gun Seirei Nomor 14 Tahun 1942. Gun Seirei Nomor istimewa Tahun 1942 dan Osamu Seirei Nomor 25 Tahun 1944 berisi tentang Hukum Pidana umum dan Hukum Pidana khusus. Sedangkan Gun Seirei Nomor 14 Tahun 1942 mengatur tentang pengadilan di Hindia Belanda.
Pada zaman ini, Indonesia telah mengenal dualisme Hukum Pidanakarena wilayah Hindia Belanda dibagi menjadi dua bagian wilayah dengan penguasa militer yang tidak saling membawahi. Wilayah Indonesia timur di bawah kekuasaan Angkatan Laut Jepang yang berkedudukan di Makasar, dan wilayah Indonesia barat di bawah kekuasaan Angkatan Darat Jepang yang berkedudukan di Jakarta. Akibatnya, dalam berbagai hal terdapat perbedaan peraturan yang berlaku di masing-masing wilayah.


3. Zaman Hindia Belanda
Zaman ini dimulai karena adanya perubahan sistem pemerintahan di Negara Belanda, dari monarkhi konstitusi menjadi monarkhi parlementer. Perubahan ini terjadi pada tahun 1848 dengan adanya perubahan dalam Grond Wet ( UUD ) Belanda. Perubahan ini mengakibatkan terjadinya pengurangan kekuasaan raja.
Maka dengan begitu kekuasaan Raja Belanda terhadap daerah jajahan di Indonesia berkurang. Peraturan-peraturan yang menata daerah jajahan tidak semata-mata di tetapkan raja dengan Koninklijk Besluit, namun harus melalui mekanisme perundang-undangan ditingkat parlemen.
Indische staatregeling ( IS ) adalah pembaharuan dari RR yang mulai berlaku sejak 1 januari 1926 dengan diundangkannya melalui staatblad Nomor 415 tahun 1925. Pada zaman ini, sistem hukum di Indonesia semakin jelas khususnya dalam pasal 131 Jo. Pasal 163 IS yang menyebutkan pembagian golongan penduduk Indonesia beserta hukum yang berlaku. Dengan dasar ini maka hukum pidana Belanda ( Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie ) tetap diberlakukan kepada seluruh penduduk Indonesia. Pasal 131 Jo. Pasal 163 IS ini mempertegas pemberlakuan hukum pidana Belanda semenjak di berlakukan 1 januari 1918.

4. Zaman Setelah Kemerdekaan
Zaman pemberlakuan hukum pidana di Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, dibagi menjadi 4 zaman sebagaimana sejarah dalam tata hukum Indonesia yang didasarkan pada berlakunya empat konstitusi Indonesia yaitupertama zaman pasca kemerdekaan dengan konstitusi UUD 1945 kedua zaman setelah Indonesia menggunakan konstitusi negara serikat ( konstitusi RIS ) ketiga zaman Indonesia menggunakan konstitusi sementara (UUDS 1950 ) dan keempatzaman Indonesia kembali kepada UUD 1945.
Membicarakan sejarah hukum pidana tidak akan lepas dari sejarah bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia mengalami perjalanan sejarah yang sangat panjang hingga sampai dengan saat ini. Beberapa kali periode mengalami zaman penjajahan dari bangsa asing. Hal ini secara langsung mempengaruhi hukum yang diberlakukan di Negara ini, khususnya hukum pidana. Hukum pidana sebagai bagian dari hukum publik mempunyai peranan penting dalam tata hukum dan bernegara. Aturan-aturan dalam hukum pidana mengatur agar munculnya sebuah keadaan kosmis yang dinamis. Menciptakan sebuah tata sosial yang damai dan sesuai dengan keinginan masyarakat.
Mempelajari sejarah hukum akan mengetahui bagaimana suatu hukum hidup dalam masyarakat pada zaman periode tertentu dan pada wilayah tertentu. Sejarah hukum mempunyai pegangan penting bagi yuris pemula untuk mengenal budaya dan pranata hukum.
Induk peraturan hukum pidana positif Indonesia adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ). KUHP ini mempunyai nama asli Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie ( WvSNI ) yang diberlakukan di Indonesia pertama kali dengan Koninklijk Besluit ( Titah Raja ) Nomor 33 15 Oktober 1915 dan mulai diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 1918. WvSNI adalah keturunan dari WvS Negeri Belanda yang dibuat pada tahun 1881 dan diberlakukan di negara Belanda pada tahun 1886. walaupun WvSNI merupakan turunan ( copy ) dari WvS Belanda, namun pemerintah kolonial pada saat itu memberlakukan asas Konkordasi ( penyesuaian ) bagi pemberlakuan WvS di negara jajahannya. Beberapa pasal di hapuskan dan disesuaikan dengan kondisi dan misi kolonialisme Belanda atas wilayah Indonesia.
Jika dirunut lebih ke belakang, pertama kali negara Belanda membuat perundang-undangan hukum pidana sejak tahun 1795 dan disahkan pada tahun 1809. Kodifikasi hukum pidana nasional pertama ini disebut dengan Crimineel Wetboek voor Het Koniklijk Holland. Namun baru dua tahun berlaku, pada tahun 1811 Prancis menjajah Belanda dan memberlakukanCode Penal ( kodifikasi hukum pidana ) yang dibuat tahun 1810 saat Napoleon Bonaparte menjadi penguasa Prancis. Pada tahun 1813, Prancis meninggalkan Negara Belanda. Namun demikian, Negara Belanda masih mempertahankan Code Penal itu sampai tahun 1886. Pada tahun 1886, mulai di berlakukan Wetboek van Strafrecht sebagai pengganti Code PenalNapoleon.
Setelah perginya Prancis pada tahun 1813, Belanda melakukan usaha pembaharuan hukum pidananya ( code penal )selama kurang lebih 68 tahun ( sampai tahun 1881 ). Selama  usaha pembaharuan hukum pidana itu, Code Penalmengalami beberapa perubahan terutama pada ancaman pidananya. Pidana penyikasaan dan pidana cap bakar yang ada dalam Code Penal ditiadakan dan diganti dengan pidana yang lebih lunak. Pada tahun 1881, Belanda mengesahkan hukum pidananya yang baru dengan nama Wetboek van Strafrecht sebagai penganti Code Penal Napoleon dan mulai diberlakuakan lima tahun kemudian, yaitu pada tahun 1886.
Sebelum Negara Belanda mengesahkan Wetboek van Strafrecht sebagai pengganti Code Penal Napoleon pada tahun 1886, diwilayah Hindia Belanda sendiri ternyata pernah diberlakukan Wetboek van Strafrecht voor Europeanen ( Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Eropa ) dengan Staatblad tahun 1866 Nomor 55 dan dinyatakan berlaku sejak 1 januari 1867. Bagi masyarakat bukan Eropa diberlakukan Wetboek van Strafrecht voor Inlender ( Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pribumi ) dengan Staatblad tahun 1872 Nomor 85 dan dinyatakan berlaku sejak 1 januari 1873.
Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa pada zaman itu terdapat juga dualisme hukum pidana, yaitu hukum pidana bagi golongan Eropa dan hukum pidana bagi golongan non-Eropa. Kenyataan ini dirasakan Idenburg ( Minister van Kolonien )sebagai perzamanlahan yang harus dihapuskan. Oleh karena itu, setelah dua tahun berusaha pada tahun 1915 keluarlahKoninlijk Besluit ( Titah Raja ) Nomor 33 15 Oktober 1915 yang mengesahkan Wetboek van Strafrech voor Nederlandsch Indie dan berlaku tiga tahun kemudian yaitu mulai 1 januari 1918.
Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tahun 1945 ,untuk mengisi kekosongan hukum pidana  yang diberlakukan di Indonesia maka dengan dasar Pasal II aturan peralihan UUD 1945, WvSNI tetap diberlakukan. Pemberlakuan WvSNI menjadi hukum pidana Indonesia ini menggunakan Undang-undang No 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Indonesia. Dalam pasal VI Undang-undang No 1 Tahun 1946 disebutkan bahwa nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie diubah menjadi Wetboek van Strafrecht dan dapat disebut “Kitab Undang-undang Hukum Pidana”. Disamping itu, undang-undang ini juga tidak memberlakukan kembali peraturan-peraturan pidana yang dikeluarkan sejak tanggal 8 Maret 1942,baik yang dikeluarkan oleh pemerintah jepang maupun oleh panglima tertinggi Balantentara Hindia Belanda.
Oleh karena perjuangan Bangsa Indonesia belum selesai pada Tahun 1946 dan muncullah dualisme KUHP setelah tahun tersebut maka pada tahun 1958 dikeluarkan Undang-undang No 73 Tahun 1958 yang memberlakukan Undang-undang No 1 Tahun 1946 bagi seluruh wilayah Republik Indonesia.
Dengan gambaran sejarah demikian, runtutan sejarah terbentuknya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia dapat diilustrasikan dalam bagan berikut :

Tahun
Peristiwa
Selisih waktu
1810
CodePenal diberlakukan di Prancis
1 tahun
1811
CodePenal diberlakukandi Belanda
56 tahun
1867
Wetboek van Strafrecht voor Europeanen berlaku di Hindia-Belanda
6 tahun
1873
Wetboek van Strafrecht voorInlander berlaku di Hindia-Belanda
8 tahun
1881
Wetboek van Strafrecht disahkan di Belanda
5 tahun
1886
Wetboek van Strafrecht diberlakukan di Belanda
29 tahun
1915
Wetboekvan Strafrecht Nedherlands Indie disahkan untuk Hindia Belanda
3 tahun
1918
Wetboek van Strafrecht Nedherlands Indie deberlakukan di Hindia Belanda
28 taun
1946
Wetboek van Strafrecht Nedherlands Indie disebut sebagai KUHP Indonesai
Total                 selisih
Waktu           136 tahun


Rancangan KUHP Baru

Rancangan pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya merupakan suatu upaya melakukan peninjauan dan pembentukan kembali ( reorientasi dan reformasi) hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik dan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat Indonesia.

Oleh karena itu, penggalian nilai-nilai yang ada dalam bangsa Indonesia dalam usaha pembaharuan hukum pidana Indonesia harus dilakukan agar hukum pidana Indonesia masa depan sesuai dengan sosio-politik, sosio filosofik, dan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat Indonesia. Pada pelakasanaanya penggalian nilai ini bersumber pada hukum adat, hukum pidana positif.
( KUHP ), hukum agama, hukum pidana negara lain, serta kesepakatan-kesepakatan internasional mengenai materi  hukum pidana.

Download Ms.Word + Ms.PP nya

9 komentar: